KAMI-ARSITEK-JENGKI

Ruang cerita tentang Indonesia dan arsitekturnya

Kenapa Polemik Identitas Arsitektur Bisa Terjadi?

Oleh : Rifandi Septiawan Nugroho

Hampir satu dekade Korea Selatan telah berhasil menyebarkan demam “K-Pop” lewat grup musik, film drama, dan reality show ke berbagai negara. Aktor Lee Min Ho mampu membuat para pria rela potong rambut demi terlihat ganteng, bahkan girlband SNSD mampu menggoda para wanita untuk operasi plastik agar terlihat cantik. Begitu pula dengan India, artis Bollywood yang sejak dulu menari di film dramanya, kini diimpor langsung ke acara musik lokal, sambil membagikan hadiah bagi mereka yang mau ikut berjoget di atas panggung. Pada sebagian orang dengan kelas sosial tertentu, mengikuti gayanya adalah kebahagiaan. Gejala yang bisa dibaca sebagai proses penyebaran identitas dalam bentuk yang baru.

Dalam era globalisasi hari ini, memanfaatkan media informasi yang telah menjadi konsumsi utama manusia di planet bumi adalah hal yang kelewat mudah. Saking mudahnya, pertikaian dan persatuan atas dasar identitas bisa bergantian dalam waktu yang sangat cepat. Hari ini bertengkar di media sosial lantaran tim sepak bola idolanya dilecehkan, besoknya berjoget bersama di depan panggung sebagai sesama fans setia. Lantas mengapa berbicara tentang identitas dalam arsitektur di Indonesia begitu membingungkan? Bagaimana manfaat yang sebenarnya telah diberikan olehnya?

Pada 27 Juni 2015 lalu di OMAH Library diadakan diskusi tentang identitas dalam arsitektur di Indonesia dengan mengundang M. Nanda Widyarta, seorang dosen mata kuliah sejarah dan seni di Universitas Indonesia dan Universitas Tarumanegara Jakarta. Paparannya diawali dengan jawaban sederhana dari pertanyaan apa itu identitas. Maknanya terbagi menjadi dua hal. Sebagai penanda yang menempel pada individu atau sebuah kelompok. Mereka berusaha menunjukan fakta “ini adalah saya, bukan dia” dan “ini adalah kami, bukan mereka”. Keduanya berfungsi sebagai penunjuk, penanda, atau pembeda yang memperlihatkan keberadaan.

Dalam diskursus sejarah arsitektur di Indonesia, berulang kali identitas menjadi topik yang hangat untuk dibahas. Pada periode 1920an dan 1980an, identitas pernah menjadi polemik yang muncul ke permukaan. Bahkan hingga hari ini, dimana era globalisasi telah membentuk keberagaman pola pikir tentang arsitektur, isu identitas sering tiba-tiba menjadi sebuah permasalahan yang dianggap penting. Sayangnya, cara menghadapi permasalahan ini seakan-akan pada orientasi yang sama.

Polemik Identitas Dunia

Kesadaran tentang identitas sebenarnya telah terjadi jauh sebelum masehi. Tradisi menandai teritori, membuatan guratan di dinding goa, dan menggambar simbol telah digunakan sebagai penanda seseorang atau kelompok untuk menyampaikan pesan tentang keberadaan mereka. Kemudian kesadaran ini terus berkembang hingga pada satu saat muncul pergolakan di era renaisans sekitar abad ke-14 hingga abad ke-17, berawal dari Italia dan menyebar ke seluruh dataran Eropa. Konon gaya arsitektur dan seni renaisans yang ideal adalah gaya klasik Yunani, atau apa yang mereka sebut antica  e buona maiera moderna – gaya modern yang bagus dan kuno.[1] Renaissance memilih jalan romantis dan nostalgia untuk kembali pada keindahan masa lampau.

Pada periode abad ke-18 hingga 20an, modernisme menciptakan mesin-mesin industri yang mendorong munculnya persaingan antar bangsa dalam menunjukan kekuatan. Pembicaraan identitas berkembang sebagai wujud rasa nasionalisme. Pak Nanda memberi contoh karya seni yang dihasilkan oleh seorang pelukis Norwegia Hans Gude. Sebagai seorang profesor termuda di Academy of Art in Dusseldorf , ia dikenal dengan lukisan pemandangan lansekap yang kebanyakan menggambarkan keindahan alam Norwegia. Karya-karyanya muncul pada saat Norwegia menjadi negara yang merdeka dari negara persemakmuran Inggris. Semangat nasionalisme membuatnya berkarya dengan mengangkat keindahan yang dimiliki bangsanya, mengisyaratkan pesan bahwa Norwegia adalah tempat terbaik untuk hidup.

HANS GUDE, Norge 1825-1903, Analkande oväder

HANS GUDE, Norge 1825-1903, Analkande oväder sumber : Invaluable.com

Di negara Hindia Belanda Mccalaine Pont melakukan hal yang hampir sama. Sebagai orang yang tidak suka pada kolonialisme di Indonesia, kemampuan lokal dan arsitektur tradisional yang telah ada dianggap sebagai potensi dalam menghasilkan karya-karya arsitektur. Ia melakukan rekonstruksi situs majapahit di Trowulan, merancang gereja Pohsarang di Kediri dengan inspirasi atap tajuk, dan aula barat ITB dengan inspirasi rumah adat Batak Karo. Seperti Hans Gude, Pont menjadikan eksotisme yang melekat pada subjek sebagai pendekatan dalam berkarya.

pohsarang

Gereja Pohsarang Kediri, Henry Mclaine Pont

Pada abad ke-21,  muncul gerakan post-modernisme yang resah akan tawaran universal dari gerakan modernisme sebelumnya. Gerakan baru yang melawan keseragaman dengan mengembalikan identitas sebagai jati diri atau sekedar pembeda sebuah karya dari karya lainnya. Ada yang beranggapan perlawanan dapat dilakukan dengan kembali pada identitas lokal, ada juga yang berbuat semaunya untuk terlihat beda. Proses ini mendorong lahirnya pemikiran konsep seni yang baru. Seperti yang dilakukan oleh Zaha Hadid dalam usaha untuk menunjukan bahwa “ini saya, bukan dia”. Publik pun dapat mengenal dengan mudah karya-karya yang dihasilkannya.

1673188-poster-1280-zaha

Aliyev Cultural Center, Zaha Hadid sumber : fastcodesign.com

Identitas Arsitektur Indonesia

Setidaknya ada tiga kali perdebatan tentang identitas arsitektur di Indonesia yang menurut Pak Nanda hadir dengan latar belakang yang berbed-beda. Pertama, perdebatan ini muncul di era kolonial. Pada era ini, para arsitek kolonial berusaha membangun istilah “arsitektur Hindia” dalam beberapa pendekatan. Mulai dari usaha menghadirkan arsitektur Belanda di tanah Hindia demi menunjukan karakter kekuasaan, melakukan adaptasi terhadap iklim untuk memaksimalkan performa fungsi bangunan, dan kembali mengangkat akar arsitektur tradisional dan kemampuan lokal untuk mendapatkan sintesis rupa arsitektur yang baru. Ketiganya tetap tidak terlepas dari pandangan yang menjadikan Indonesia sebagai subjek yang pasif, seperti kelinci percobaan.

800px-Lawang_sewu

Lawang Sewu, C. Citroen sumber wikipedia.com

ITB

Kampus ITB, Henry Mcclaine Pont sumber : skyscrappercity.com

WismaDharmala

Wisma Dharmala Surabaya, Paul Rudolf sumber Skyscrappercity.com

Kedua, di era pasca kemerdekaan situasi politik negara Indonesia berada di posisi yang belum stabil. Dengan beragam suku dan budaya yang dimiliki Indonesia menjadi negara yang rentan terhadap perpecahan. Lantas presiden Soekarno membangun visi pembentukan identitas Indonesia yang baru sebagai pemersatu bangsa. Ia tidak merujuk pada satu suku dan budaya tertentu, melainkan sebagai angan-angan wajah baru bangsa Indonesia, yang modern dan tidak kuno. Soekarno ingin menunjukan kepada dunia tentang kekuatan ekonomi negaranya melalui pembangunan infrastruktur besar-besaran di awal kemerdekaan.

Tantangan ini akhirnya mendorong kongres IAI mulai tahun 1970 hingga 1980-an untuk merumuskan ulang apa sebenarnya identitas arsitektur Indonesia. Friedrich Silaban memasukan konstanta fungsi dan waktu terkait kebutuhan arsitektur. Baginya arsitektur harus mampu menjawab kebutuhan lokal pada saat ia berada, bukan lagi sekedar menunjukan bentuk simbolik dari masa lalu yang tidak fungsional. Adi Moersid bersama Atelier 6 kembali mencoba mensintesis ulang atap rumah Jawa dan diterapkan pada masjid Said Naum, namun dengan bentuk yang masih beroperasi sebagai sirkulasi udara. Gunawan Tjahjono hampir sama, arsitektur atap Indonesia diterapkan sebagai teritisan atap di tiap lantai bangunan gedung rektorat Universitas Indonesia. Namun di akhir perdebatan panjang antara mengutamakan rupa atau fungsi ini para arsitek kembali terhenti di jalan buntu. Arsitektur bergerak terbatas pada dua arus, mengikuti arus global (international style) atau memasukan unsur lokal. Keduanya terjebak pada imaji estetika visual.

Istiqlal_Mosque

Masjid Istiqlal, Friedrich Silaban sumber : wikipedia.com

IAA17135

Masjid Said Naum, Atelier 6 sumber : archinet.org

Universidad_Indonesia_Edificio_Administrativo

Rektorat UI, Gunawan Tjahjono sumber: wikipedia.com

Ketiga, setelah tahun 1980-an perdebatan dilanjutkan kembali. Pemikiran tentang arsitektur modern di dunia juga telah digantikan oleh arsitektur posmodern. Lembaga Sejarah Arsitektur Indonesia (LSAI) hadir dengan konsep identitas mereka, yakni “arsitektur nusantara”, sebuah pemahaman yang menggali kembali akar perkembangan arsitektur di Indonesia sebelum diganggu oleh kolonialisme. Profesor Josef Prijotomo dengan tegas menyebutkan bahwa nusantara lebih jelas, memiliki relasi budaya dengan negara-negara lain di Asia Tenggara di luar Indonesia. Gaya arsitektur nusantara juga mengakar pada budaya masyarakat tanah nusantara pada saat sebelum era modern. Dengan memahami dan mendalami kembali arsitektur nusantara, arsitektur yang berjati diri dapat lahir melalui rupa dan jiwanya. Lantas pertanyaan yang selalu muncul kemudian adalah bagaimana wujud nyata dari arsitektur nusantara yang di hari ini, yang mampu menjawab kemajuan zaman dengan segala konsekuensinya.

Perdebatan ini menimbulkan kebingungan di kalangan mahasiswa arsitektur di Indonesia. Kegalauan yang bisanya muncul adalah pertanyaan dari mana sebenarnya harus memulai rancangan yang membawa isu identitas arsitektur di Indonesia. Hasilnya tak jarang bangunan gedung bertingkat dipasangkan langsung dengan atap joglo di bagian kepalanya. Seringkali berakhir pada jebakan estetika visual yang lagi-lagi menjadikan arsitektur Indonesia sebagai subjek yang pasif.

Identitas Sekarang? Perlukah?

Sedikit kembali pada sifat dari identitas yang menjadi alat untuk menunjukan ke-aku-an.  Munculnya ke-aku-an ini bisa terjadi melalui keinginan untuk mengaku atau diakui. Mengaku mengisyaratkan sifat rela, mau, dan dengan senang hati karena adanya dorongan dari dalam diri. Sedangkan diakui membutuhkan sebuah usaha agar orang lain terdorong melakukannya.

Dalam rangkuman sejarah polemik identitas dunia, ketika ke-aku-an ia dibawa ke lingkup yang lebih luas dari sekedar individu atau bagian kelompok kecil, selalu mengandung konsekuensi politis. Identitas bisa dijadikan alat doktrin akan sebuah fanatisme ideologi, kekuasaan, bahkan komoditas ekonomi dengan tujuan yang berbeda di setiap zaman. Seperti yang diungkapkan Rem Koolhas dalam sebuah sesi wawancara dengan Hans Ulrich Obrist, “Speak of a cultural project today is too limited, and that is partly because culture has become the part of the market economy. Perhaps the only domain that is not entirely absorbed by the market is the political domain itself.”[2] Pernyataan tersebut menunjukan rumitnya mencari kejernihan dari sebuah identitas yang berakar dari budaya masyarakat hari ini yang senantiasa menilai sesuatu sebagai nilai tukar.

Di tengah kerumitan akan pencarian tersebut anggap saja identitas menjadi sebuah permainan yang menyenangkan yang barangkali bermanfaat untuk menyelamatkan Indonesia di tengah arus pasar global. Dengan begitu dibutuhkan konsepsi yang segar dan justifikasi yang merdeka, benar, dan mendalam. Ketimbang meratapi masa lalu arsitektur Indonesia dan menanyakan kembali hal yang sama, lebih baik menghadirkan permainan fiksi baru tentang identitas. Masih banyak fenomena yang baru saja muncul dan memiliki banyak potensi, baik dari segi kehidupan desa maupun kota. Interdisiplin dan kerja komunitas menjadi sebuah kunci taktis yang bisa ditempuh.

Para arsitek Jepang telah berusaha mengeluarkan pernyataan-pernyataan tentang arsitektur mereka hari ini adalah arsitektur yang “Jepang banget”, meskipun bentuk rupanya tidak terasa  sama sekali mengadopsi arsitektur Jepang di masa lampau. Menyebarnya paham tersebut belakangan ini hingga membuat arsitek Zaha Hadid kecewa. Seorang arsitek Jepang, Arata Isozaki menyatakan jika desain Zaha Hadid untuk stadion olimpiade 2020 dibangun, Jepang akan terbebani oleh gajah putih raksasa. Berpotensi menjadi aib bagi generasi muda Jepang berikutnya.[3] Selang beberapa lama setelah pasang surut perdebatan itu proyeknya dihentikan begitu saja oleh pemerintah setempat dengan alasan anggaran yang dikeluarkan terlalu besar. Alhasil, Hadid tidak berhasil masuk ke dalam pasar ekonomi Jepang untuk sebuah acara bergengsi dunia. Di sinilah identitas telah memberi contoh peranannya sebagai penangkal rasa terusik.

Arsitek Jepang tidak berjalan sendirian, mereka didukung oleh infrastruktur dari disiplin ilmu lain yang mau bekerja sama. Konsepsi dan rumusan pemikiran para arsitek didukung oleh media yang menguasai pasar dunia seperti A+U dan GA yang dikurasi dengan ketat. Dukungan lain bagi para arsitek diberikan melalui fasilitas cultural exchange seperti Bunkacho Fellowship Award, Asian Cultural Council, dan Japanese Government Overseas Program  for Artists. Bahkan bermitra dengan pemerintah berjalan dengan sangat baik seperti yang dilakukan oleh pemerintah kota Kunamoto dengan arsitek Sou Fujimoto mengangkat brandingnya Kunamoto Artpolis. Berbagai penghargaan dan pameran telah menjadi agenda rutin mereka, dengan berkolaborasi dengan pelaku usaha lokal.

Saya tidak menyarankan untuk meniru mentah-mentah apa yang dilakukan oleh Jepang. Di Indonesia sendiri, kesadaran akan kerja kolektif sebenarnya juga sudah mulai bertebaran. Beberapa media alternatif mulai bersuara, kegiatan riset alternatif bergerak, dan kegiatan partisipatoris dengan menggandeng komunitas juga menarik perhatian para mahasiswa. Memunculkan rasa untuk memiliki jauh lebih penting sebelum kita mempertanyakan apa identitas kita.

Pada akhirnya kita perlu bersadar diri, bahwa arsitek Indonesia tidak menjalani hidup sendirian. Baik mengaku-ngaku atau disuruh mengaku, identitas sejati tidak muncul dengan paksaan. Dalam kondisi yang ideal, identitas tidak dinilai milik sebagian kalangan dan pastinya menyebar dengan sendirinya menjadi satu dengan keseharian masyarakat, ia telah mendapatkan apresiasi di tempat yang tepat., Membangun identitas melalui kerja kolektif mungkin akan lebih bermakna ketimbang bentuk simbolik tidak fungsional yang hanya menjadi penanada keangkuhan dan kesombongan mereka yang berkuasa, seperti yang sudah-sudah.


[1] Sardar and Curry, 1995

[2] Hans Ulrich Obrist, 2013

[3] Baca http://www.dezeen.com/2014/11/10/zaha-hadid-tokyo-stadium-olympic-disgrace-arata-isozaki/

Bumi Pemuda Rahayu – 14 Oktober 2015 (01)

Malam 01. 14 Oktober 2015.

Jogjakarta akan menjadi rumah saya dalam dua bulan kedepan. Sebuah keputusan yang impulsif ini saya putuskan tepat ketika nilai sidang tugas akhir saya keluar. Hampir setiap malam saya memutar otak untuk merencanakan proyek apa yang akan saya bawa ke Bumi Pemuda Rahayu.

Bumi Pemuda Rahayu adalah sebuah pusat pembelajaran lestari, yang dibangun oleh Rujak Center of Urban Studies, Arkom Jogja, dan KUNCI Cultural Studies. Saya sebagai salah satu penikmat fenomena urban, sangat menanti-nanti kesempatan unik seperti ini datang. Kapan lagi kita dibayar untuk belajar? Selengkapnya tentang BPR dapat disimak di http://bumipemudarahayu.org

Pembukaan residensi dilaksanakan tanggal 15 Oktober namun saya memutuskan untuk hadir satu hari sebelumnya. Saya berangkat dari Stasiun Malang pukul 08.00 dan tiba di Stasiun Yogyakarta pukul 16.00. Setibanya di Jogja saya dijemput oleh Pak Agung, yang rupanya sudah menjadi langganan teman-teman BPR untuk pergi dari Dlingo ke Kota, ataupun sebaliknya. Sebelum menjemput saya, Pak Agung sudah terlebih dahulu menjemput residen lain di Bandara. Kali ini peserta dari Kupang, Dicky Senda.

Pak Agung rupanya bukan sembarang driver. Sembari mengantar dan menjemput berbagai subjek dari kota ke Dlingo, ia rupanya mengenal banyak dan belajar banyak. Sebut saja bos Rujak, Marco Kusumawijaya, penulis terkenal Ayu Utami, dan orang-orang hebat—yang beliau sebut Aneh!, ia kenali dan hafalkan. Begitupula dengan caranya mengenal saya dan mas Dicky. Bahkan dalam perjalanan 40 menit menuju Dlingo, saya sudah belajar untuk menginjak-injak jiwa pemalu saya yang berlebihan ini.

Setibanya di Dlingo, saya bertemu dengan Pak Sarbini. Beliau yang membantu kami untuk masuk ke kamar, dan menjaga di BPR ketika malam. Kemudian kami melanjutkan dengan makan malam.

Kedatangan saya rupanya bersamaan dengan hari terakhir workshop menganyam bamboo bagi masyarakat lokal, dengan mentor Shimitzu, asli lokal Jepun. He can’t even stand a day not touching bamboo. Right at the day he arrived in Jogjakarta, he began to work literally in the same day. Such a spirit.

Dan sepanjang malam pertama saya di Dlingo saya habiskan untuk menikmati saja, tanpa mendokumentasikan suatu apapun. Kemudian di penghujung tulisan saya mencatat PR untuk diri saya sendiri, mendokumentasikan selfie bersama orang-orang yang saya tuliskan sepanjang perjalanan saya kedepan.

Saya belum akan menceritakan proyek yang akan saya kerjakan. Dalam waktu dekat, saya akan terus mengisi blog kamiarsitekjengki dengan cerita residensi saya. Dari orang-orang yang saya temui, begitupula kegiatan yang kami lakukan. Semoga berkenan.

Bercerita dan Bercitra Lewat Media

Oleh: Astri Isnaini Dewi

Saat ini, kita hidup di zaman yang menjengkelkan. Sebuah zaman di mana segalanya meluap-luap serba berlebihan. Termasuk arus informasi. Mau tidak mau, suka tidak suka, dalam dua puluh empat jam hidup kita setiap hari, ada luberan informasi yang harus kita terima. Hampir mustahil bagi kita untuk menghindarinya. Kecuali pasrah dengan bombardir citra yang datang setiap detiknya.

Berbagai informasi tersebut kita terima melalui perantara media. Pada era digital seperti saat ini, kemampuan media untuk mengirimkan pesan adalah luar biasa. Kisah yang terjadi di belahan bumi lain, dapat kita terima dalam hitungan menit, bahkan detik. Media mampu melipat jarak dan waktu. Menjadikan dimensi fisik menjadi nisbi.

Di tengah derasnya arus informasi dan percepatan konsumsi terhadap pengetahuan baru, bagaimana sebaiknya kita membaca media? Di manakah posisi media arsitektur dewasa ini? Topik-topik tersebut menjadi perbicangan yang menarik di forum Pengajian Kami Arsitek Jengki ketiga, beberapa waktu yang lalu.


Media dan Arsitektur

Beberapa arsitek besar seperti Koolhaas, Tschumi, maupun MVRDV berpendapat bahwa desain adalah sebuah bentuk pemikiran yang layak disampaikan. Mengalirkan sebuah pemikiran adalah perlu, baik kepada yang orang awam, maupun sesama ahli. Baik untuk fungsi edukatif, atau pun sebagai konstruksi sebuah paradigma. Berbagi ide, sebagai satu dari moda penting perputaran siklus hidup arsitektur, turut memanfaatkan media sebagai perantara. Sekiranya begitu paparan dari ORDES Arsitektur yang diwakili oleh Defry Agatha dan Endy Yudho malam itu.

Frank Gehry (Sumber: http://archdaily.com

Frank Gehry (Sumber: http://archdaily.com)

Hubungan baik antara arsitektur dan media, mendorong munculnya subjek baru berjudul ‘publikasi arsitektur’. Adanya sebuah peran dibalik sosok media, sedikit demi sedikit mulai terbuka. ORDES memberikan gambaran dalam, film Tomorrow Never Dies, di mana James Bond menghadapi tokoh antagonis seorang raja media yang menggunakan kekuatan informasi sebagai alat untuk tujuan jahat. Gambaran tersebut seolah menjadi pembenar banyaknya wajah dan kepentingan dibalik konsep ‘media’.

Salah satu wajah media di dunia arsitektur dapat terwakili oleh architecture bible nowadays, ArchDaily. Sebuah media online yang tidak berhenti menghadirkan potret baru karya arsitektur dari seluruh dunia setiap harinya. ArchDaily, maupun berbagai media arsitektur online lainnya, akhirnya menjadi prototip sebuah gebrakan untuk menghadirkan ‘rasa’ arsitektur tanpa harus hadir merasakan karya tersebut secara langsung. Kehadiran media mewakiliki kehadiran kita. Media pun menjadi perpanjangan indera manusia dalam mencerap sebuah karya arsitektur.

Dari situ, terdapat banyak kemungkinan. Salah satunya adalah banalitas, yang muncul akibat rasa bosan terhadap bangunan eksentrik apabila setiap harinya kita disodori hal yang tidak jauh berbeda. Media mampu mengaburkan selera, menyatu dengan utopia, melebur dengan kenyataan. Hingga benar dan salah tidak dapat didefinisikan.

Sedikit banyak, publikasi arsitektur turut membangun konstruk paradigma masyarakat mengenai arsitektur. Kemegahan arsitektur dan gemerlap urban mancanegara menjadi virus yang menyerang pertahanan arsitektur di Indonesia. Sehingga lahirlah gaya-gaya arsitektur yang kini terdengar janggal dan asing seperti Classic Modern, Modern Minimalis, Minimalis Tropis, maupun bangunan-bangunan unik seperti Rumah Botol Ridwan Kamil, hingga Dome Teletubbies di Jogjakarta.


Di Balik Layar

Era kebebasan media juga menjadi penanda kebebasan kreasi masyarakat Indonesia. Perannya sebagai ‘penyambung lidah rakyat’ menjadi wadah bagi pelaku kreatif untuk mengomunikasikan kreasinya. Konon, media juga dapat berperan sebagai moda untuk mengedukasi rakyat. Namun, di era teknologi yang serba cepat tepat, kebebasan media kembali dipertanyakan keabsahannya. Sejauh mana kecepatan dapat mempengaruhi kebenaran atas subyek yang ditampilkan? Apalagi kita sadar betul bahwa kemampuan untuk melakukan verifikasi masih sangat lemah dalam tradisi media di Indonesia.

Knowledge is Power (Sumber: http://themetapicture.com)

Kondisi tersebut semakin memprihatinkan, karena kita tahu bahwa sebagian besar media di Indonesia terkait erat dengan subjektifitas segelintir kepentingan. Bias pun tidak terelakkan. Karena tidak dapat dimungkiri bahwa media dijalankan dengan logika industri. Di mana setiap kepala memiliki keterkaitan dengan kepala lainnya. Hal ini mendorong munculnya bias kepentingan melalui konstruksi berita-berita yang disampaikan.

Seperti contoh di bidang kesehatan, ketika ada kisah tentang seorang miskin papa yang kehilangan haknya akan asuransi kesehatan, meskipun ia lama menderita sebuah penyakit yang berat. Subyek seperti itu adalah hal yang ‘biasa’ dan tidak akan disorot media. Bisa jadi karena news value-nya yang lemah, atau karena mungkin pemberitaan tersebut akan menjatuhkan beberapa pihak. Bias-bias semacam itu tentu tidak terelakkan. Meski fakta adalah sebuah kepastian, namun beragam fakta-fakta yang didapat harus ‘disaring’ dulu, untuk ‘disimpan’ dan kemudian ‘dikonstruksi ulang’. Konon istilah “you write what you’re told” benar adanya. Begitulah yang disampaikan Ika, seorang wartawan sebuah harian di Surabaya, yang turut hadir dalam diskusi malam itu.

Masing-masing media memiliki visi yang sekiranya tercermin dalam angle yang diambil dalam publikasinya. Para pembaca dengan latar belakang yang berbeda-beda, sedikit banyak akan diarahkan untuk dapat memahami sudut pandang penulis. Sehingga kadang, persepsi akhir pembaca pun, dapat menjadi perdebatan. Hal tersebut dipengaruhi oleh perbedaan sumber bacaan yang diambil, latar belakang pendidikan, bahkan hubungan personal terkait dengan subjek yang diangkat. Sebuah gambaran rekonstruksi paradigma masal yang cepat.


Pengaruh Visual dalam Media

Lain lagi ketika membahas fotografi sebagai sebuah bentuk media. Ayos Purwoaji, seorang fotografer dan penulis perjalanan, mengamati betapa kuatnya pengaruh visual dalam penyebaran sebuah informasi. Foto, dapat memiliki kekuatan yang melebihi sinema. Karena konstruksi pengetahuan dalam selembar foto hanya tersaji dalam sebuah bangunan tunggal. Tidak didukung dengan gambaran sekuensial lain seperti sinema. Sehingga tafsir akan sebuah foto dapat berkembang lebih luas kerena melibatkan imaji dan pengalaman dari pemirsa.

321681c

Ironi (Sumber: http://someecards.com)

Hadirnya berbagai perangkat pembuat gambar (seperti ponsel pintar atau kamera digital) dan piranti lunak untuk membagi citra (sosial media semacam Path atau Instagram), adalah fakta yang menyadarkan bahwa kita kini berada di abad visual. Istilah “no pic hoax” menjadi sebuah kalimat interogatif yang melekat di masyarakat pengguna teknologi masa kini. Atau kata “instagrammable” menjadi absah diucapkan untuk menandai obyek tertentu yang memiliki nilai fotografis. Penyebaran informasi pun mengalir seperti tsunami yang menerjang siapa saja, membabibuta. Kita tidak dapat menentukan informasi apa yang akan tampil di layar linimassa. Mau tak mau kita mencerna semua. Betapa ketika sebuah berita di Path yang seharusnya privat, namun lagi-lagi dalam sebuah media, siapa yang bisa menjamin apa dibaca oleh siapa?

Prof. Josef Prijotomo akhirnya berbicara di penghujung pengajian malam itu. Baginya seluruh sektor kreatif kita memerlukan media sebagai lahan berkreasi dan berbagi. Begitu pun dunia arsitektur yang mampu melahirkan bidang baru, publikasi arsitektur. Di mana dampaknya membuat orang semakin mabuk dalam berarsitektur. Perpindahan era modern ke era pos-modern kini, terdapat peran media dalam menghantarkan kemelut dan berbagai pandangan agar dapat dipahami berbagai khalayak. Kemajuan pemikiran kita sekarang pun tidak lepas dari peran media.

Sedangkan di sisi lain, sektor kreatif dipengaruhi pula –dalam penyampaian, pasar, maupun dasar ide– oleh media. Perubahan-perubahan yang terjadi mendorong pertanyaan-pertanyaan akan peran komunikasi dan edukasi yang dikandung oleh media. Komunikasi media kini, sekali lagi, dapat berupa sebuah packaging manis akan suatu hal. Secara edukasi pun, benar dan salah menjadi relatif. Berkurangnya kebiasaan belajar dan membaca akan membuat khalayak terus menerus mengamini apapun untuk kemudian dianggap benar.


Tapi, bila media telah memiliki masterplan dalam berita yang ia sampaikan, dalam tujuan-tujuan pribadi yang ingin ia capai, kita tidak boleh lengah dan melupakan bahwa kita pun bisa berperan dalam kondisi yang bias. Masyarakat sebagai penerima informasi, memiliki peran partisipasi yang tinggi dalam penyebaran berita oleh media. Kita memiliki banyak pilihan ketika kita bersinggungan dengan media. Menyebarkan yang kita anggap baik, meninggalkan yang tidak baik, menyerap sebagian, maupun memberikan kritik sebagai dorongan perubahan. Hadirnya media juga memberikan kita sisi positif melalui menyebarnya ide dan pengetahuan dengan mudah, namun sekali lagi penyaringan memang sangat diperlukan.

Kita harus lihai memainkan peran kita sebagai pemberi, maupun penerima informasi. Ketika kebebasan mampu mewadahi kreativitas masyarakat, maka sudah seharusnya masyarakat mampu menyikapinya dengan kritis dan kreatif.

Namun lagi-lagi, penyampain di atas pun berupa media kreativitas saya mengungkapkan argumentasi. Tidak ada fakta, hanya setumpuk interpretasi. Bisa jadi, saya pun memiliki tujuan tertentu dalam menuliskan ini semua. Benar, atau benar?

Tentang Ruang Jual Beli

Oleh : Rifandi Septiawan Nugroho

Catatan Kajian Arsitektur Jumat #01 tentang Ruang Jual Beli

20140917_093937

Pasar Wagen di Kecamatan Pedan, Klaten, Jawa Tengah (Foto: Dokumentasi Pribadi)

Saya mengalami ketertarikan untuk membahas ruang jual beli setelah pulang dari Klaten, Jawa Tengah, akhir bulan lalu. Pada Kajian Arsitektur Jumat pertama bersama teman-teman KAJ, saya mengajak untuk mengangkat tema tersebut. Barangkali dari cerita singkat pengalaman baru saya isu ini menjadi menarik untuk ditelusuri lebih lanjut. Ada beberapa fenomena unik yang terjadi ketika kami berdiskusi. Latar belakang kami yang berbeda-beda baik dari sisi daerah asal, kelas sosial, dan pengalaman jual beli menambah keragaman pustaka kami tentang ruang jual beli itu sendiri. Berikut ini adalah sedikit ulasan tentang ruang jual beli dalam Kajian Arsitektur Jumat yang pertama.

Saya mengawali dengan cerita akan ketertarikan saya dengan apa yang terjadi di Klaten. Ketika saya berkunjung ke sana, bertepatan pada hari Wage menurut pasaran Jawa. Pada hari tersebut, giliran pasar Keden di kecamatan Pedan menggelar ruang jual beli. Masyarakat sekitar menyebutnya dengan istilah pasar Wagen, maksudnya pasar yang buka di hari Wage. Saya takjub saat melihat banyaknya orang yang datang ke sana, baik untuk menjual atau untuk membeli kebutuhan. Kebutuhan yang dijual mulai dari perkakas rumah tangga hingga hewan ternak. Pasar harian ini buka hanya pada hari Wage, pada hari lainnya pasar ini tutup dan ada pasar lain yang buka, begitu seterusnya setiap hari. Pasar semacam ini menjadi perayaan bagi masyarakat di sana, bukan sekedar ruang jual beli biasa.

Cara berjualannya pun beragam. Ada yang memang sengaja menyediakan meja untuk meletakan barang dagangan, ada yang dibiarkan di bawah, ada juga yang digantungkan di dinding-dinding atau pagar rumah orang. Saya juga kemudian teringat dengan pasar yang ada di daerah Sumbawa Barat, kebetulan saya pernah berkesempatan melewatinya dan tipe cara berjualan dengan duduk di bawah bersama barang dagangan sama seperti yang terjadi di sana. Bedanya, pasar yang kebetulan saya temui di Sumbawa Barat menjual kebutuhan pokok dan hasil panen saja, tidak beragam seperti pasar Wagen di Klaten.

IMG_0598

Pasar kebutuhan pokok dan  hasil panen di Sumbawa Barat (Foto: Dokumentasi Pribadi)

Ketertarikan saya ini tidak seperti yang dirasakan oleh salah seorang teman asal Bali yang di kesehariannya terbiasa membantu orang tua untuk menjaga toko milik keluarga. Setiap hari ia merasakan pengalaman jual beli, sehingga hal itu tidak asing baginya. Hanya barang baru dan pengunjung yang baru yang membuat menarik dalam pengalaman jual belinya. Kebiasaan dia menunjukan bahwa hal yang biasa terjadi, tidak menjadi istimewa lagi seutuhnya. Hanya menjadi sebuah pengalaman kolektif yang mungkin dapat terulang terus menerus hingga tidak ada unsur lain yang mempengaruhi suasana menjadi baru.

Seorang teman asal Mojokerto  memiliki pengalaman lain lagi. Ia melihat fenomena ruang jual beli yang terjadi di pinggir jalan raya di kota Mojokerto, atau biasa dikenal dengan istilah pasar kaget. Pasar semacam ini ada di banyak tempat dan selalu mengundang banyak orang untuk datang. Ketika ia datang ke Surabaya (menurutnya adalah kota besar), ada fenomena yang sama seperti pasar kaget di Mojokerto, yakni pasar malam. Tapi pengunjungnya berasal hanya dari kalangan tertentu saja, biasanya kelas sosial menengah ke bawah. Baginya, ada sensasi lain yang membuat belanja di pasar tradisional tidak begitu nyaman, terutama dirasakan oleh indera penciuman dan visual. Di pasar tradisional, kotor dan bau adalah hal yang lazim untuk dirasakan.

Lain lagi di Medan, di sana pasar memiliki sebutan pajak. Seorang teman berdarah Batak mengaku penasaran dengan adanya sebutan tersebut. Kawan lain asal Medan memberi penjelasan singkat dari sebutan tersebut. Menurutnya pajak adalah istilah yang dipakai kemungkinan berasal dari kebiasaan pemungutan biaya “pajak” yang dilakukan oleh orang setempat. Ia menambahkan ceritanya dengan apa yang dilihatnya dari penjual tenun di daerah danau Toba. Para pengrajin mengaku akan mendapatkan keuntungan yang lebih besar apabila tenunnya dijual langsung kepada pembeli yang sedang berkunjug ke desanya ketimbang dijual ke luar desa. Penyebabnya adalah distributor meminta potongan harga yang sangat besar, bisa lebih dari separuh harga yang biasa ia jual langsung di desanya. Namun demikian, distribusi keluar desanya tetap dilakukan demi memenuhi kebutuhan hiup. Karena penjualan di desa tidak menentu, tergantung jumlah pengunjung yang datang. Cerita di Medan menunjukan bahwa pasar telah memainkan peranannya sebagai penata aturan sosial. Ada hirarki yang terjadi dari mulai produsen, distributor, konsumen, maupun elemen lain yang mempengaruhi jalannya proses jual beli. Tidak lagi sekedar mempertemukan penjual dan pembeli lalu bertransaksi di sana.

Dari sudut pandang strata sosial, ruang jual beli juga bisa menjadi ruang yang mengklasifikasikan karakter setiap strata sosial tersebut. Ruang jual beli tanpa disadari bisa menjadi nyaman bagi sekelompok orang dan bisa menjadi sangat tidak nyaman bagi kelompok lainnya. Menurut kawan asli Surabaya, di kota itu ada pasar yang menjadi destinasi favorit etnis tionghoa untuk berbelanja kebutuhan, ada mall yang banyak dikunjungi orang pinggiran Surabaya, ada juga mall bermaterial kinclong dengan beragam retail merk impor yang biasa dikunjungi kalangan menengah atas. Bahkan di salah satu buku tulisan platform komunitas Surabaya ada artikel yang menuliskan tentang ciri-ciri pengunjung di beberapa mall di Surabaya.[1] Di dalamnya digambarkan cara berpakaian hingga aksesoris yang digunakan dalam bentuk karikatur. Bingkai yang jelas telah memberikan batas imajiner untuk tiap orang dalam memenuhi kebutuhannya.

Namun klasifikasi ini tidak selalu terjadi, menurut salah seorang kawan yang juga berasal dari Surabaya ada kasus dimana pembeli dari kalangan menengah ke atas rela naik mobil untuk ke pasar tradisional di Pasar Semolo. Hanya saja yang membedakan adalah, bagaimana pembeli itu memilih kostum yang cocok untuk menyesuaikan diri dengan keadaan pasar. Kejadian seperti ini bisa disebabkan adanya hubungan yang kuat antara pembeli dan penjual. Penjual mampu memikat pembeli untuk merasa nyaman jika berbelanja di sana. Misalnya apa yang dilakukan oleh ibu dari seorang teman asli Surabaya. Ia lebih memilih berbelanja ke satu toko yang sama meskipun toko lain mampu menjual barang yang sama dengan harga yang sama. Menurut pengakuannya, bahkan ibunya rela menunggu barangnya datang lagi ketika stoknya habis. Sebuah hubungan sosial yang sangat baik telah terjalin antara penjual dan pembeli.

Berawal dari hubungan sosial yang baik pula seorang penjual kue akhirnya dapat menjadi sumber inspirasi satu wilayah kampung di Surabaya. Di pasar kue rungkut,  awalnya hanya ada satu penjual kue. Kemudian orang tersebut mengajak tetangganya untuk memproduksi kue juga seperti dirinya. Kampung tersebut kini menjadi produsen kue di berbagai wilayah di Surabaya. Hubungan saling menguntungkan ini tidak dapat terjadi tanpa ada jalinan sosial yang baik sebelumnya. Ada rasa saling percaya dari interaksi yang sebelumnya sudah tercipta. Begitulah gambaran ruang jual beli dengan latar belakang kesadaran sosial yang berada di dunia nyata.

Di zaman sekarang yang diiringi dengan kemajuan teknologi bahkan proses jual beli bisa jadi tidak perlu lagi dilakukan dengan bertatap muka. Toko-toko online, forum jual beli, dan media lainnya memberikan kesempatan untuk melakukan proses transaksi dengan berlandaskan rasa saling percaya. Tidak jarang nilai transaksi yang dilakukan sangat tinggi. Cukup menekan tombol di peranti komunikasinya, pembeli dan penjual menyepakati harga, barang akan datang ke alamat tujuan. Resiko yang ditawarkan pun tidak kecil, banyak yang apes tertipu dengan menggunakan metode ini dalam proses jual beli.

Jual beli tanpa bertemu sangat kontras dengan pengalaman kawan saya yang semasa kecilnya sering main ke rumah kakek neneknya di desa. Di sana, para pedagang bergerobak keliling dari gang ke gang setiap harinya. Penduduk bahkan bisa menghafal beragam jenis penjual yang lewat pada waktu-waktu tertentu. Sehingga dalam memenuhi kebutuhan, penduduk desa cukup menunggu pedagang yang akan lewat dalam waktu tertentu dan bertransaksi di depan rumah. Bukan lagi pembeli yang mencari penjual, tetapi penjual yang menghampiri pembeli. Penduduk kenal satu per satu dengan para pedagang, hubungan kekeluargaan bahkan tak hanya berakhir di proses jual beli. Jika sewaktu-waktu pedagang atau pembeli ada hajatan misalnya, pasti mereka saling mengundang dan menghadiri hajatan itu.

Ada beberapa kesamaan dan kontradiksi di dalam perspektif tentang ruang jual beli ini. Dari beberapa perspektif tersebut saya menyimpulkan dan menyederhanakannya ke dalam beberapa tipe ruang jual beli itu sendiri. Mulai dari ruang tanpa batas fisik seperti jual beli secara personal antar individu, ruang yang bergerak seperti pedagang bergerobak di desa-desa, ruang dengan batas fisik yang jelas seperti pasar dan pusat perbelanjaan, dan ruang maya yakni jual beli online. Adapun kegunaannya secara garis besar terbagi menjadi dua yaitu sebagai pengakomodasi kebutuhan dan sebagai perayaan. Pengakomodasi kebutuhan meliputi pasar sehari-hari, toko online, makelar, bahkan dapat termasuk pula prostitusi dan semacamnya. Sedangkan untuk perayaan yakni yang bersifat eventual seperti festival, bazar, pasar harian, dan sebagainya.

Terkait efek positif atau negatif dari ruang jual beli, pembaca sendiri yang dapat menentukan. Masing-masing telah memiliki fungsi dan tujuannya sendiri. Hanya saja kita yang perlu menyadari bahwa ada hal yang tanpa disadari telah kita anggap biasa dalam proses berjual beli, hal itu menjadi positif atau menjadi negatif tergantung konteksnya.


Narasumber Kajian Arsitektur Jumat #01

Rifandi S Nugroho, I Putu Adi Garbha, Ferry Ardiansyah, Ganis Ryandi, Fransis Sialagan, Frederikson Tarigan, Astri Isnaini Dewi, Rizky Darmadi, Faisal Rizaldy, Harzha Syafarian, Firdiansyah Fathoni,

[1] Salah satu artikel dalam majalah SUB Versi terbitan ayorek, artikel tentang tipe-tipe pengunjung mall di Surabaya

Pengalaman Material dan Ketukangan : Sebuah Cerita Dari Workshop Bamboo ExploreAction

Oleh : Rizky Rachmadanti

Menceritakan keterlibatannya secara langsung membantu proses acara Bamboo ExploreAction di Jogjakarta bersama studio Effan Adhiwira

 DSCF1460

Material dalam sebuah arsitektur, sama halnya seperti sel pada tubuh manusia. Dengan saling berpautan, terbentuklah bagian-bagian tubuh dengan fungsinya masing-masing yang kesatuannya membentuk sebuah fungsi yang utuh.Sama halnya seperti tubuh, arsitektur yang sehat adalah arsitektur yang mampu mengolah berbagai material dengan tepat sesuai sifat dan karakternya menjadi satu kesatuan yang mampu menjalankan fungsinya secara utuh sebagai sebuah arsitektur.

Indonesia dalam perkembangan arsitekturnya memiliki beragam material yang digunakan. Mulai dari bata, beton, kaca, kayu, bambu, dan sebagainya. Di Indonesia, keberadaan arsitektur bambu mulai banyak. Keberadaan bambu di mata dunia pun mulai banyak dilirik. Salah seorang arsitek kenamaan Vietnam, Vo Trong Nghia, yang sudah banyak menghasilkan arsitektur bambunya bahkan mengatakan “Bamboo will replace other materials. Bamboo is the green steel of the 21st century.”

Sudah banyak pembahasan mengenai sifat dari material satu ini, tapi saya mencoba mengenal karakter bambu dari sudut pandang lain, bukan dengan melihat berbagai literatur tentang bambu, melainkan dengan mengenal secara langsung melalui pengalaman menukang.

“Kesadaran material, atau “material conciousness“, adalah kesadaran bekerja melalui dan dengan “perkakas” yang ada pada kita. Dengan kata lain, kesadaran seorang craftsman untuk menghasilkan sesuatu yang berkualitas disertai kepekaan kepada apa yang terpaut dengan “perkakas” itu, yaitu: kepekaan kepada tenaga manusia, bahan, lingkungan alam, dan semua yang konkret, berubah, dan majemuk.” [1]

Jika kepekaan kepada tenaga manusia, bahan, dan lingkungan alam adalah “perkakas” yang dibutuhkan untuk menumbuhkan kesadaran akan material, maka salah satu cara yang paling efektif untuk menumbuhkan kepekaan tersebut adalah dengan terjun langsung bekerja melalui setiap proses pengolahan material hingga menjadi sesuatu. Dari sana kita akan memahami betul bagaimana memperlakukan material sesuai dengan sifat dan karakternya.

Melalui workshop Bamboo ExploreAction misalnya, arsitek Effan Adhiwira mencoba mengenalkan karakteristik bambu kepada para peserta dengan tidak hanya melalui teori, tapi dengan mengajak para peserta untuk mengolah langsung  material bambu dengan tangan mereka sendiri. Proses pengenalan ini pun dilakukan secara bertahap dari hal yang sederhana hingga yang kompleks.

Para peserta diajak untuk memahat bambu, sebuah proses yang terdengar kurang familiar jika dibandingkan dengan memahat kayu. Proses memahat dimulai dengan menggambar pola awal pada batang bambu. Mereka dihadapkan pada berbagai pilihan alat pahat yang tersedia untuk mengukir bambu sesuai dengan polanya.

Seorang ahli pahat bambu menjelaskan kegunaan dari masing-masing alat, sekaligus mempraktikan bagaimana cara penggunaan dari masing-masing alat tersebut. Penjelasan tersebut tidak praktis membuat para peserta dapat menentukan dengan tepat alat mana yang harus digunakan untuk membuat bentuk yang mereka inginkan. Dengan mencoba sendiri proses memahat  mereka baru dapat mengetahui alat yang paling sesuai dengan karakter bambu yang digunakan dan bentuk yang diinginkan.

 DSCF0977DSCF0943d

Kegiatan memahat bambu dalam dalam workshop Bamboo ExplorAction (foto : Rizky Rachmadanti)

Selanjutnya para peserta diajak ke untuk melakukan proses pembuatan furniture bambu, sebuah metode pendekatan yang digunakan adalah learning by doing. Para peserta diajak untuk  memahami bagaimana membuat sambungan bambu model pasak dengan potongan fish mouth di ujungnya, sebuah model sambungan yang dapat mengurangi penggunaan paku. Kemudian mereka mencoba membuat rangka yang melengkung, pengalaman tersebut membuat mereka sadar akan karakter bambu yang sangat fleksibel. Walaupun para peserta mengerti bahwa mereka sedang mengolah material menjadi sesuatu, namun tanpa disadari mereka mulai memahami sifat dan karakteristik material yang sedang mereka olah dengan menjadi tukang untuk mereka sendiri.

 DSCF0992DSCF0986

 Kegiatan membuat furniture bambu oleh peserta workshop (foto : Rizky Rachmadanti)

“Dalam ketukangan di Indonesia, arsitek hadir sebagai salah satu pelaku dalam proses kerja dan dengan segara terlibat dengan material yang tersedia di negeri ini. Ia hadir bukan sebagai subyek yang otonom, melainkan sebagai “tukang” yang bergulat dan menempatkan dirinya dalam menghadapi dan bereaksi terhadap keberlimpahan maupun keterbatasan sumber daya. Dalam hal ini, arsitek adalah variabel sejarah. Ia terlibat di dalam proses, tapi bukan yang menentukan sepenuhnya.”[2]

Sepertinya hal yang perlu dicapai adalah terlibatnya perancang secara langsung ke dalam proses pengolahan material sebuah konstruksi arsitektur, dengan begitu seorang perancang akan lebih peka dalam mengambil keputusan desain yang berkaitan dengan material.

Oleh karena itu, bagian lain yang menjadi penting dari upaya menumbuhkan kesadaran material dalam workshop ini adalah pada saat para peserta ditantang untuk membuat sesuatu yang lebih besar. Sebuah karya yang menunjukkan bahwa bambu dapat digunakan sebagai struktur bentang lebar. Para peserta diajak untuk mengeksplorasi desain naungan bambu dengan bentang lebar.

DSCF1423 DSCF1422 4

 Proses konstruksi naungan bambu bentang lebar dengan cara tradisional (foto : Rizky Rachmadanti)

Pemahaman akan material dilalui tahap demi tahap dalam proses konstruksi. Mulai dari mengukur besar lengkungan bambu yang memiliki bentang 17 meter misalnya, dapat dipelajari bahwa dalam tahap pengukuran secara manual ketelitian itu penting. Kemudian dari memilah-milah batang bambu akan diketahui bahwa bambu yang baik adalah yang arah lengkungannya hanya satu. Dari belajar melengkungkan batang bambu menggunakan gergaji di tiap buku-bukunya, dapat  disadari bahwa batang bambu yang besar pun bisa sangat fleksibel untuk dilengkungkan.

Setelah para tukang mengajarkan bagaimana cara menyambungkan antara satu bambu dengan yang lain, dapat dipahami bahwa titik beban pada sebatang bambu terletak pada buku-bukunya sehingga dapat ditentukan posisi yang tepat untuk letak sambungan. Dari menyusun beberapa bambu untuk membentuk lengkungan dengan bentang 17 meter, dapat dipahami bahwa bambu memiliki kepala (bagian atas) dan kaki (bagian bawah). Untuk menyambungkan antar batang bambu harus mempertemukan antar kepala dan antar kakinya. Bagian kaki menjadi bagian paling ujung dari lengkungan yang akan menjadi tumpuan beban, sama seperti hakikat hidup sebuah pohon yang memiliki batang besar di bagian bawah sebagai dasarnya dan mengecil dibagian atas. Inilah kepekaan terhadap material yang baru disadari setelah melewati dan menghargai setiap proses konstruksi.

 DSCF1381 DSCF1380

Proses belajar peserta yang dipandu para tukang (foto : Rizky Racmadanti)

Selain memperkenalkan karakteristik material bambu, kegiatan ini telah menjadi strategi yang cukup baik dalam meningkatkan produktivitas pekerja, memaksimalkan penggunaan material lokal, dan memberdayakan kembali tradisi. Dengan memahat bambu para peserta belajar mengenal karakter bambu dari sifat yang paling sederhana, dengan membuat furniture peserta belajar bagaimana mengolah material lokal menjadi sesuatu yang berfungsi, melalui kerjasama tim dalam membangun sebuah bangunan arsitektur dengan cara tradisional berarti telah terjadi pemberdayaan tradisi dengan hal yang sederhana.

Apresiasi terhadap keahlian tukang yang datang dari para peserta berhasil meningkatkan produktivitas para tukang. Keterlibatan peserta dalam menukang pun secara langsung menjadikan mereka sebagai pekerja yang intensif dan memahami bahwa sebagai arsitek pemahaman terhadap material bisa didapatkan apabila ada keterlibatan langsung ke dalam setiap proses konstruksi. Dengan demikian mereka yang terlibat dapat lebih peka memahami segala sesuatu yang ada di dalamnya. Hal-hal tersebut yang mencirikan perkembangan arsitektur di Indonesia, di satu sisi pembangunan gedung-gedung berteknologi dengan pesatnya dan di sisi lain pembangunan dengan cara tradisional masih bertahan.

 10507010_832843613404808_5632853887266660079_o

Proses menukang peserta workshop (foto : dokumentasi cupudalang)

Maka dari pengalaman ini dapat dikatakan bahwa hanya dengan terlibat secara mendalam dengan kehidupan dan kerja yang erat bertaut dengan material (ada yang menyebutnya material culture), arsitek akan lebih peka terhadap ketukangan. Merupakan sebuah proses yang berjalan beriringan, antara mendalami material culture untuk menumbuhkan kepekaan terhadap ketukangan, ataupun sebaliknya, mendalami kerja yang berkaitan dengan ketukangan untuk menumbuhkan kepekaan terhadap material.

DSCF1566 DSCF1558 DSCF1542

Paviliun karya peserta workshop (foto : Rizky Rachmadanti)

 


[1] Avianti Armand dalam bahan kuratorial Venice Architecture Biennale 2014

[2] Avianti Armand dalam artikelnya tentang ketukangan yang dimuat di dalam http://www.konteks.org

Menelusur Arsitektur Jengki di Surabaya

Oleh: Rifandi Septiawan Nugroho

Rumah Salim Martak 1

Masa awal kemerdekaan menjadi titik balik yang membawa pengaruh besar bagi bangsa Indonesia. Salah satunya ditunjukan dengan pembangunan nasional yang terjadi serentak di kota-kota besar. Saat itu, Soekarno menginginkan sebuah identitas nasional yang baru untuk menunjukan kemampuan Indonesia di mata dunia. Di tengah hiruk pikuk mega proyek yang dicanangkan bung Karno, ada sebuah gaya yang menyelinap masuk secara militan ke dalam bangunan-bangunan tersebut, yaitu sebuah gaya usil yang kelak disebut “jengki”. Beberapa peninggalannya tersimpan dengan baik dalam catatan dokumentasi, ada pula yang terlupakan.

Gaya arsitektur jengki tersebar di Indonesia pada tahun 1950 hingga 1960an. Kehadirannya menyelinap secara sporadis ke banyak wilayah di Indonesia dalam waktu yang berdekatan. Jika merujuk pada pendapat Prof. Josef Prijotomo, sebagian besar pencetus lahirnya gaya jengki adalah lulusan STM yang pernah menjadi aannemer (ahli bangunan) di perusahaan Belanda pada saat arsitek Belanda harus pulang kampung ke negerinya. Semangat untuk berdiri di kaki sendiri tanpa bergantung pada bangsa asing menimbulkan jiwa “memberontak”, menjadi dasar mengubah keteraturan elemen bangunan peninggalan kolonial yang biasanya berlandaskan fungsionalism. Pengetahuan yang dimiliki anak-anak lulusan STM ini hanya terbatas pada pengetahuan tipe dan bentuk bangunan, belum menguasai hingga ke ilmu merancang bangunan.

Setelah sekitar satu dekade masa kejayaan jengki kemudian lahir insinyur-insinyur baru dari beberapa perguruan tinggi dalam negeri. Gaya jengki kembali tenggelam dan hanyut terbawa oleh arus ilmu rancang bangun yang diajarkan kepada arsitek-arsitek baru lulusan perguruan tinggi tersebut. Oleh karena itu, tidak terlalu banyak bangunan jengki yang sempat didirikan apalagi bertahan dalam jangka waktu yang begitu singkat.

Sebuah narasi yang sederhana untuk menggambarkan semangat jengki – jika merdeka berarti bebas, maka itulah kata yang tepat untuk menggambarkan gaya tersebut, sebuah “kebebasan” berkespresi.

Saya menelusuri awal mula penggunaan istilah ini dan akhirnya menemukan beberapa versi. Ada yang bilang, bahwa istilah jengki berasal dari tren yang sedang terjadi di Indonesia pada saat itu (sepeda, celana, dan perabot), ada yang bilang asalnya dari istilah yankee di Amerika, ada juga yang hanya dapat menggambarkan dengan kata “miring-miring”. Akhirnya saya merasa istilah arsitektur jengki selalu memancing pertanyaan tanpa jawaban pasti, sama seperti ekspresi anehnya yang selalu seru untuk ditelusuri.

Koleksi jengki di Surabaya

Karena arsitektur jengki hanya memiliki waktu yang singkat untuk menunjukkan dirinya, tidak semua kota di Indonesia sempat disinggahi olehnya. Beruntunglah Surabaya menjadi salah satu kota yang memiliki koleksi ragam bangunan jengki dengan rupa bangunan yang tergolong unik. Beberapa di antaranya sempat saya telusuri bersama teman-teman. Berikut ini beberapa penelusuran yang sempat saya simpan dalam catatan.

Pabrik Coklat di jalan Kalisari dekat Taman Makam Pahlawan kawasan THR misalnya. Pabrik ini menjadi destinasi favorit setiap kali saya harus menceritakan jengki pada orang yang menginginkannya. Pabrik coklat Cendrawasih memiliki cerita singkat yang cukup relevan jika dihubungkan dengan asal-usul jengki sendiri.

Kantor Pabrik Cokelat

Bangunan kantor operasional Pabrik Cokelat Tjendrawasih (Dokumentasi KAJ)

Pabrik Cokelat 1

Bangunan Pabrik Cokelat Tjendrawasih (Dokumentasi KAJ)

Pada masa pemerintahan Hindia Belanda, pabrik ini merupakan pabrik roti dengan nama De Ruiter Bread . Bangunan ini awalnya bergaya kolonial pada tahun 1940-1950an. Kemudian dinasionalisasi dan dikelola oleh PT. Multi Aneka Pangan Nusantara (PT. Mapan). Gaya jengki pun dipilih untuk mengubah wajah bangunan ini, menjadi pembeda dari yang sebelumnya ada. Jika melihat fase dimana pabrik coklat ini bertransformasi menjadi perusahaan milik pribumi, bersamaan dengannya gaya jengki baru saja lahir. Terbukti dari olahan bentuk wajahnya yang khas jengki.

Ilustrasi Fasade Bangunan Pabrik Cokelat Tjendrawasih (jurusan arsitektur ITS)

Ilustrasi Fasade Bangunan Pabrik Cokelat Tjendrawasih (Jurusan Arsitektur ITS)

Bentuk yang heroik dan “centil” menghiasi wajah pabrik cokelat. Material beton dilipat, disusun membingkai, ditempeli bebatuan, dilubangi, dibentuk tulisan – semua bagian bidang diberi penegasan secara berlebihan. Saya lebih suka menyebutnya permainan lempeng supaya terdengar lebih sederhana. Semua bagian lempeng diutak atik tanpa mengenal istilah simetri, keterhubungan antar bagian pun tidak begitu dipertimbangkan. Sehingga ekspresi jengki jarang sekali terlihat balance atau bahkan unity. Mungkin lebih tepat dengan pendekatan “pokoknya yang penting keren”.

ragam hias fasade pabrik cokelat

Ragam hias pada fasade bangunan pabrik cokelat (Dokumentasi KAJ)

Pada bangunan pabrik cokelat ini wajah bangunan dijadikan prioritas, hal ini mungkin dilakukan oleh para pengrajin bangunan sebagai usaha untuk menunjukan kemampuannya mengolah bahan bangunan menjadi bentuk yang indah. Terlihat bahwa perlakuan para pengrajin terhadap bahan bangunan yang digunakan tidak hanya sekedar sebagai bahan penutup bangunan. Pertanyaan yang muncul di benak orang yang baru melihat jengki biasanya untuk apa bentuknya dibuat seperti itu? Pada gaya jengki, pertanyaan seperti itu tak perlu dijawab. Karena unsur keindahan memang lebih diutamakan ketimbang fungsinya. “Arsitekturnya saat itu masih sebagai seni, belum mengandung ilmu.”, begitulah penegasan Prof. Josef Prijotomo terhadap gaya jengki.

Jengki lainnya yang menjadi penelusuran saya adalah gerbang Taman Makam Pahlawan yang dekat dari pabrik cokelat. Pada bangunan ini, gaya jengkinya terlihat lebih rapi. Permainan lempengnya berupa beton yang dilipat berulang. Tiap lipatan membentuk kurva yang diulang hingga berhenti di bagian tengah kurva, sebuah penyelesaian yang terlihat tanggung. Kolom penyangganya juga dibuat tidak simetri, karakteristik seperti ini menjadi salah satu khas bangunan jengki yang ada pada beberapa bangunan lainnya seperti Wisma Djendral Ahmad Yani di Gresik.

TMP 2

Gerbang Taman Makam Pahlawan Jl. Kusuma Bangsa (Dokumentasi KAJ)

TMP1

Gerbang Taman Makam Pahlawan Jl. Kusuma Bangsa (Dokumentasi KAJ)

TMP2

Gerbang Taman Makam Pahlawan Jl. Kusuma Bangsa (Dokumentasi KAJ)

Kalau jengki yang rapih begini, saya lebih biasa menyebutnya “jengki sekolahan”. Bentuknya sudah mulai menyentuh aturan komposisi, simetri, keseimbangan, aksentuasi, dan sebagainya yang berupa teori-teori estetika yang dikenal di bangku kuliahan hingga kini.

Jika melihat pada sejarah lahirnya industri semen yang menjadi bahan baku pembuatan beton, seperti ada sebuah hubungan yang dapat ditarik antara bangunan jengki dan industri semen tersebut. Semen Gresik lahir sebagai industri semen pertama di pulau Jawa pada tahun 1957, perusahaan ini menjadi pabrik semen nasional pertama setelah sebelumnya NV Nederlandsch Indische Portland Cement Maatschappij (sekarang Semen Padang) lahir di tanah Sumatera dan baru dinasionalisasi pada tahun 1958.

Bertepatan di era itu pula bung Karno membangun banyak karya yang menjadi monumen kecil bagi bangsa. Sebagai sebuah usaha untuk memunculkan karakter nasional, jengki menyelinap secara militan di sela-selanya. Tentu saja ada peran penting dari tukang, di sini peran mereka tidak sebatas sebagai pekerja melainkan disertai komitmen untuk menyelesaikan pekerjaan dengan sebaik-baiknya.

“Ketukangan bukanlah wacana tentang alternatif bentuk dan estetika dalam arsitektur. Ia jauh melebihi semua itu. Ia adalah tentang pemahaman untuk mengembalikan arsitektur ke tanahnya yang paling mendasar yakni menjadi keseharian dan bagian penting dari kehidupan masyarakat, baik tantangan persoalan serta potensi-potensi terbaiknya. ” ujar Robin Hartanto, salah satu kurator Pavilliun Indonesia di Venice Biennale.

Proyek Jengki Rumah Tinggal

Selain bangunan skala publik yang disebutkan di awal tadi bangunan rumah tinggal di Surabaya juga banyak yang menjadi bukti nyata wacana tersebut. Beberapa rumah tinggal ini sempat menjadi catatan saya, dalam penelusuran yang dilakukan baik bersama teman-teman maupun sendirian. Menelusuri gaya jengki di rumah tinggal selalu lebih menarik, karena saya dapat merasakan tiap elemen dengan lebih mendetil dengan skala ruang yang lebih intim dibandingkan dengan bangunan publik. Saya juga bisa mendengar langsung cerita dari sang pemilik rumah lewat obrolan hangat. Meskipun skala proyek rumah tinggal tidak seheroik mega proyek di ibukota, bangunan rumah tinggal diselesaikan dengan semangat “ketukangan” yang sama.

Rumah yang paling sering saya kunjungi adalah rumah Ibu Jenderal Soebandi di jalan Doktor Soetomo 73. Rumah ini awalnya adalah peninggalan kolonial, lalu pada tahun 1960 para pengrajin bangunan dari Madiun yang dikepalai oleh bapak Sudrajat merenovasi bagian ruang tamu hingga teras rumah ini dengan gaya jengki, tentunya atas keinginan dari almarhum Kolonel Soebandi.

Keahlian, kecermatan, ketekunan, dan kecemerlangan para pengrajin bangunan dapat ditemui di setiap sisi bangunan. Semuanya diberi penyelesaian yang sangat mendetail. Setiap bagian fasadenya, baik depan atau samping, diisi dengan jenis bebatuan yang berbeda-beda. Bagian jendela depan dihiasi dengan sirip miring-miring, dipadukan dengan sosoran yang asimetris. Seperti khas rumah jengki pada umumnya, gewel atau dinding yang menahan atap diberi roster udara dengan komposisi tertentu sesuai kreasi pengrajinnya.

Penyelesaian gaya khas jengki di fasade bekas rumah kolonial ini sebenarnya masih tanggung, ia meninggalkan beberapa kesan simetris dari bangunan kolonial yang ada sebelumnya. Seperti misalnya pada susunan roster di bagian gewel yang dibuat sama komposisinya. Sehingga saya menyebut bangunan semacam ini disebut dengan sebutan “jengkol” atau jengki setengah kolonial agar lebih menarik.

Rumah Ibu Jenderal 3

Sosoran menerus yang berbeda ketinggian pada fasade rumah Ibu Jenderal (Dokumentasi KAJ)

Rumah Ibu Jenderal 2

Sirip yang membingkai jendela menggunakan bentukan khas jengki, membuat bidang dari unsur garis vertikal dan diagonal (Dokumentasi KAJ)

Rumah Ibu Jenderal 1

Bagian teras rumah Ibu Jenderal (Dokumentasi KAJ)

Pada bagian dalam juga tidak ketinggalan detilnya. Bagian lampu diletakan di sudut-sudut ruangan dengan model penerangan indirect light. Lantai ruangan disusun seperti mozaik yang jika dilihat dari jauh menyerupai karpet. Begitu juga dengan lubang dinding penghubung antar ruangan, terdapat bentuk “miring-miring” ciri khas jengki.

Rumah Ibu Jenderal 6

Lantai mozaik ruang tamu (Dokumentasi KAJ)

Rumah Ibu Jenderal 4

Penerangan indirect light (Dokumentasi KAJ)

Rumah Ibu Jenderal 5

Bingkai dinding miring yang menghubungkan antar ruang (Dokumentasi KAJ)

Rumah tinggal lainnya yang menjadi saksi keuletan tukang adalah rumah “S” di wilayah ampel, susunan bahan bangunan yang dipasang terlihat liar. Bingkai jendela miring-miring tidak simetris pada dinding ditempeli susunan batu yang juga berantakan. Jengki-jengki yang relatif berantakan seperti ini saya biasa menyebutnya “jengki kampungan”, maksudnya seperti karakter sebuah kampung yang biasanya tidak tertata rapi namun memiliki cerita masing-masing yang menurut saya menjadi pusi tersendiri bagi ketidak rapihannya itu. Kemungkinan besar jengki yang liar seperti ini dibangun di awal kemunculannya, sekitar 1950 saat belum ada arsitek lulusan universitas sama sekali.

Rumah S 1

Rumah S di wilayah Ampel (Dokumentasi KAJ)

Rumah S 2

Detil bingkai jendela rumah S (Dokumentasi KAJ)

Jengki kampungan juga dapat ditemukan di daerah perumahan Pucang Anom. Di sana, terdapat beberapa kompleks permukiman yang gaya rumahnya serupa. Kondisinya memang sudah banyak yang sudah diperbaharui dengan model rumah masa kini, namun beberapa peninggalan yang masih tersisa biasanya ada pada bagian gewel dan atap bangunan dimana roster dan teritisan/sosoran masih menghiasi bagian tersebut. Konon katanya kompleks perumahan ini dibangun sesuai permintaan presiden pertama Indonesia untuk memberikan perumahan bagi rakyat di awal kemerdekaan. Alhasil bentuk bangunan yang ada sesuai dengan semangat zamannya, semangat jengki.

Pucang Anom 1

Rumah di wilayah Pucang Anom (Dokumentasi KAJ)

Pucang Anom 3

Rumah di wilayah Pucang Anom (Dokumentasi KAJ)

Ada juga sebuah rumah tinggal yang tampilannya cukup berbeda dari rumah-rumah jengki yang sebelumnya saya telusuri. Sebuah rumah milik seorang bapak bernama Salim Martak di jalan Untung Suropati. Salim Martak membeli Mess Angkatan Darat bergaya Kolonial di lokasi ini pada tahun 1952 dan kemudian pada tahun 1963 ia merenovasinya, memperluas pada bagian depan dan menambahkan lantai kedua dengan desain dari seorang pemborong bernama Pak Timboel. Sebenarnya beliau tidak tahu bahwa desain tersebut mengusung gaya jengki, beliau hanya diberikan beberapa alternatif desain dan beliau memilih gaya ini. Fasade yang berubah total dan kemudian membuat bangunan ini terlihat cantik, rumah ini kemudian sering digunakan sebagai objek foto oleh orang-orang, oleh karena itu Salim Martak masih setia untuk mempertahankan gedung ini.

Rumah Salim Martak 1

Rumah Salim Martak (Dokumentasi KAJ)

Rumah Salim Martak 2

Detil lubang udara rumah Salim Martak (Dokumentasi KAJ)

Salim Martak 3

Bagian belakang rumah Salim Martak (Dokumentasi KAJ)

Salim Martak 4

Tangga di bagian belakang rumah Salim Martak, menggunakan railing khas jengki (Dokumentasi KAJ)

Sentuhan desain pada bagian atap rumah Salim Martak hampir serupa dengan gerbang taman makam pahlawan, menggunakan pengulangan kurva yang berakhir tanggung. Keterampilan tukang diperlihatkan lewat pengerjaan lubang-lubang udara di sekujur fasade bangunan.

Jengki kampung, jengki sekolahan, dan jengki kolonial yang menjadi sebutan-sebutan bagi temuan saya bersama teman-teman di Surabaya hanya untuk mempermudah dalam mengenal bangunan yang ada. Definisi yang diberikan beberapa literatur kurang cukup untuk menjelaskan apa yang kemudian kami temukan pada bangunan yang ada. Hal tersebut mungkin disebabkan karena bangunan jengki yang sangat banyak macamnya dan literatur yang membahas terlalu sedikit untuk menelusuri beragam jengki yang ada. Saya lebih suka menyatakan jengki sebagai evolusi desain yang beradaptasi semangat zaman ketimbang bagaimana wujud fisiknya. Saya juga yakin, meskipun latar belakang ceritanya begitu patriotrik namun pengaruh dari luar sebenarnya masih tetap ada.

Darimana pun asalnya, jengki di Indonesia dan beragam cerita di baliknya tidak pernah membosankan untuk ditelusuri. Sehingga pada akhirnya bangunan ini tidak hanya menempatkan diri pada catatan sejarah, namun juga menjadi catatan bangunan yang dapat dikonservasi. Pencarian ini belum berakhir dan tidak pernah tau kapan harus diakhiri.


 Tulisan ini dibuat untuk dimuat di website platform komunitas Surabaya http://www.ayorek.org
Tulisan telah disunting oleh Ayos Purwoaji

 

Secuil Catatan dari Kuliah Prof. Josef Prijotomo

Oleh : Astri Isnaini Dewi

Arsitektur pada dasarnya adalah berupa tanggapan-tanggapan, berupa reaksi.  Dan tidak ada arsitektur yang tidak berada pada suatu tempat yang pasti, arsitektur selalu berada dalam suatu petak bumi yang akurat. Bukan di atmosfer yang melayang, atau di ruang angkasa. Maka sudah seharusnya arsitektur itu berupa reaksi/tanggapan terhadap suatu petak bumi, terhadap alam dan lingkungan tempatnya berada.

Begitu pula dalam Arsitektur Indonesia, haruslah memperhatikan dengan seksama yang dimaksudkan dengan petak bumi tersebut; kenapa? Pertama, karena arsitektur memang berupa tanggapan terhadap sekitarnya, berupa reaksi kepada alam. Kedua, sekolah arsitektur di Indonesia menganut faham internasionalisme atau universalisme, yang kebarat-baratan, yang tidak memberikan tempat pada petak bumi sebagai sebuah faktor kepastian yang mempengaruhi arsitektur. Maka apabila kelak kita memperhatikan faktor petak bumi itu tadi, melalui sebuah analisa, itu mampu mengubah faham internasionalisme di pola pikiran masyarakat Indonesia mengenai arsitektur dan kembali ke hakekatnya.

Indonesia memiliki bentang kepulauan yang sama dengan benua Amerika dan Eropa, namun kita memiliki area laut yang lebih besar presentasenya daripada kepulauan. Maka pantaskah kita membangun bangunan-bangunan yang luas seperti Eropa dan Amerika, dengan ukuran kepulauan Indonesia yang lebih kecil dibandingkan negara-negara lain di kawasan tersebut? Jawabannya TIDAK.

Membangun bangunan berskala besar tidak mencerminkan ke-Indonesia-an apabila ditelaah dari unsur kepulauan kita. Dan dengan populasi penduduk yang meningkat, maka solusi arsitektural terhadap petak-petak bumi sesungguhnya adalah, ‘raihlah puncak angkasa’, tinggikan bangunanmu, bukan meluaskan area lahanmu. Pendahulu sudah mengajarkan bahwa bangunan nusantara rata-rata adalah bangunan panggung, bangunan yang meninggi, bahkan hingga empat lantai dengan konstruksi ikat. Dan dengan hal itu, dengan ilmu konstruksi yang semakin hebat era ini, apakah kita masih terbelenggu oleh mindset masyarakat barat, atau berdiri di kaki sendiri, dan mengembangkan konstruksi bangunan tinggi yang lebih hebat dari konstruksi ikat yang mampu membuat bangunan empat lantai?

Lalu dari konteks laut, dimana ia mampu menjadi pemisah dan penyatu pada kepulauan Indonesia, dan hal tersebut menjadi koneksi pada ciri arsitektur Indonesia, berkaitan dengan kebhinekaan rupa arsitektur Indonesia. Karena dari sudut laut sebagai pemisah area, setiap kepulauan yang dipisahkan laut-laut Indonesia memiliki kondisi cuaca yang sedikit berbeda. Ketika terjadi pemisahan area, maka karakter masyarakat pun berbeda-beda hingga terjadi karakter penyelesaian arsitektur yang berbeda pula. Meskipun ketika dipandang dari sudut sebagai penyatu area, maka ketika dibutuhkan adanya transportasi dari pulau ke pulau, mulai tumbuhlah kawasan pelabuhan, kawasan pasar apung, atau berbagai arsitektur yang berdiri di atas lautan. Untuk itu, karakter arsitektur pun dibangun oleh kondisi kepulauan negara kita.

Selain itu, kita berada di daerah garis khatulistiwa, yang mengakibatkan Indonesia memiliki dua musim dengan iklim tropis. Sehingga, seharusnya kita tidak memisahkan diri dari iklim, namun membina keharmonisan dengan iklim. Mengapa begitu? Karena ketika memiliki empat musim, maka manusia membutuhkan proteksi yang lebih untuk menghadapi kondisi cuaca empat musim. Sedangkan pada dua musim, manusia mampu berselimut dengan alam, sehingga arsitektur pun menjadi mediatornya.

Bagaimana arsitektur mampu menjadi mediator manusia dan iklimnya? Pada dasarnya arsitektur dua musim hanya membutuhkan sebagai unsur utama bangunannya. Begitu pula Indonesia yang sesungguhnya tidak membutuhkan dinding, Indonesia hanya membutuhkan atap untuk membentuk sebuah daerah bayangan. Karena daerah bayangan itulah ciri khas Arsitektur Indonesia. Penggunaan dinding pada arsitektur dua musim adalah dinding yang mampu bernafas; dinding yang memiliki bukaan. Bukan dinding solid yang dimaksudkan sebagai pelindung, tapi untuk menyaring silau dan mengurangi frekuensi angin. Ibaratnya tidak lebih dari kacamata hitam, yang menyaring cahaya dan angin pada mata. Angin keras disaring menjadi angin sepoi-sepoi, cahaya yang menyengat dan menyilaukan menjadi cahaya yang dibutuhkan. Dinding tidak lebih dari  tirai. (Pertanyaan ‘apa arsitektur Indonesia tidak membutuhkan dinding?’ dilontarkan oleh Christ Siwi)

Apa itu definisi pasti dari daerah bayangan? Yaitu, seberapa luas daerah bayangan yang dihasilkan oleh atap itulah daerah aktivitas kita. Bukan berdasarkan aktivitas, kita membentuk atap. Namun melalui waktu kebutuhan akan aktivitas yang meruang dan membentuk kekosongan, maka kita membentuk atap sebagai penyesuaian. (Pertanyaan ‘apa yang dimaksud dengan daerah bayangan?’ dilontarkan oleh Nisma Hamid Baraja)

Apabila pada arsitektur empat musim, ruangan diukur berdasarkan aktivitas. Namun pada dua musim, dihitung waktu ke waktu kita beraktivitas apa, lalu diukur luasannya, dan dinding dan atap sebagai pembatas saja. Pada akhirnya definisi kita mengenai bangunan pun bergeser. Bahkan di Indonesia perapian pun sebagai pengawet bangunan, asap sebagai pengawet bahannya, dan untuk menghangatkan ruangan untuk manusia tidur. Dan apabila kita memperhatikan kondisi Indonesia silam, maka itulah arsitektur nusantara. Dulu tidak diperlukan penanganan khusus terhadap banjir karena manusia masih sangat ramah lingkungan. Namun para pendahulu sudah memperkirakannya dengan mendirikan panggung, selain untuk memasukkan angin dari area bawah. Kedepannya, mungkin, kita membutuhkanoverlap untuk membentuk daerah bayangan dan pelindung pada musim kemarau dan penghujan. Ataupun, kita mungkin membutuhkan konsep rumah di dalam kebun, sebagai sumber angin. Atau rumah panggung, sebagai pelindung dari banjir dan lumpur. Namun pada intinya, arsitektur nusantara harus ramah gempa. Itulah Indonesia. (Pertanyaan ‘apa ciri arsitektur Indonesia’ dilontarkan oleh Linda Widiachristy; dan pertanyaan ‘kalo banjir?’ oleh Oudyziea Ais Samodra)

Tulisan dibuat oleh Astri Isnaini Dewi , satu tahun yang lalu
dikutip dari http://astrisnaini.tumblr.com/post/43912734366